Minggu, 29 Januari 2017

Membuka lembaran hidup baru dengan berbenah



Judul : The Life-Changing Magic of Tidying up (Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang)
Penulis : Marie Kondo
Penerjemah : Reni Indardini
Tebal : 206 halaman
Penerbit : PT Bentang Pustaka

Adakah dari antara kita yang masih sering menyimpan barang karena alasan historis, padahal kita sendiri tidak yakin membutuhkan barang tersebut, tidak suka akan barang tersebut, namun masih terus menyimpannya? Atau barang tersebut kita simpan dengan anggapan pasti akan berguna di lain waktu, padahal setelah beberapa waktu lamanya, kita tidak ingat pernah menyimpan barang tersebut?

Mungkin itu adalah beberapa pertanyaan menggelitik bagi kita yang akhirnya menyadari bahwa ternyata rumah kita atau dalam lingkup lebih sempit, ternyata kamar kita tidak cukup muat untuk menampung banyaknya barang yang kita simpan tanpa tahu apakah kita memang membutuhkannya atau apakah itu mendatangkan kebahagiaan bagi kita.

Saya adalah seorang manusia yang suka akan memori. Saya senang menyimpan sesuatu hal yang mengandung nilai histori bagi saya pribadi. Saya punya banyak pin (peniti berkarakter atau bergambar) yang saya kumpulkan saat saya kuliah, karena dulunya saya rasa itu keren sekali.

Saya punya banyak bungkus coklat yang saya makan bersama orang-orang di masa lalu dan akhirnya saya sadari saat ini sangat konyol  dan membuat saya tertawa saat saya membongkar kamar saya.
Saya punya banyak kertas warna – warni yang saya beli dan saya simpan diberbagai tempat berbeda dan ketika saya berbenah saya tersenyum mendapati betapa banyaknya kertas yang saya beli tanpa pernah saya gunakan karena lupa sudah membeli. Ya saya membeli bukan karena butuh, tapi karena senang dengan warnanya. Penyakit wanita, suka terbawa perasaan.

Saya tipe orang yang jarang membeli baju. Jujur, saya selalu dikelilingi dengan orang yang berbaik hati melungsurkan pakaian masih sangat layak pakai dan bisa jadi punya merek dan memberikan kepada saya. Kenyataan bahwa saya dan dua orang adik saya yang sama-sama beranjak besar dan badan saya yang selalu tetep pada posisi timbangan kisaran 45-50 kg membuat saya tidak pernah merasa kekurangan baju. Oleh sebab itu, saya mengalihkan pos belanja saya kepada jajanan dan akan sangat berlebih dalam membeli buku atau alat tulis yang unik.

Itu adalah kisah saya mengumpulkan barang secara terus menerus dan kebingungan bagaimana membereskannya serta membuat kamar saya menjadi lega dan hangat (dalam artian saya masih menyimpan kenangan yang menyenangkan).

Konon, “kamar yang berantakan adalah cermin dari pikiran yang berantakan. Tahap awal berbenah menurut KonMari, demikian metode itu dikenal adalah dengan mulai membuang semua barang sampai tuntas. Namun, sebelum mulai visualisasikan tujuan kita, akan seperti apa ruangan yang kita harapkan untuk dihuni. Lalu, saat proses membuang barang sampai tuntas, kriteria seleksinya adalah: Apakah barang tersebut benar-benar membangkitkan kegembiraan kita atau tidak.

Untuk tahap awal, jangan dimulai dengan benda yang memiliki kenangan. Urutan yang baik adalah dimulai dengan pakaian, buku, kertas, pernak-pernik dan terakhir kenang-kenangan. Sewaktu dihadapkan pada sesuatu yang tida tega untuk dilepaskan, pikirkan dengan seksama peranan sejati benda tersebut dalam hidup kita. Agar bisa sepenuh hati mensyukuri hal-hal yang penting bagi kita, pertama-tama kita harus membuang barang yang sudah tidak bermanfaat bagi kita. Bukan berarti benda tersebut tidak ada nilainya lagi, namun, nilai benda tersebut akan bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkannya.

Buku ini terdiri atas lima bab yang dapat dengan mudah kita cerna informasinya. Kita diajak untuk menentukan apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup kita melalui kegiatan berbenah yang tepat. Kita akan mengetahui seperti apa kita ingin menjalani hidup. Proses mencermati dan menyeleksi barang –barang milik kita bisa saja menyakitkan. Proses itu memaksa kita untuk secara jujur menghadapi ketidak sempurnaan diri kita dan kekurangan kita. 

Kehidupan yang sebenar-benarnya baru dimulai sesudah kita membenahi rumah.

Sabtu, 28 Januari 2017

Belajar tidak cepat menyerah dan mencoba hal baru



Judul : Si babi ungu dan cerita-cerita lain.
Penulis : Enid Blyton
Penerjemah : Indri K. Hidayat
Tebal : 102 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Dalam hal membaca, akan ada sesuatu atau beberapa hal yang akan saya petik pelajarannya bagi diri saya atau berupa perbaikan dan teguran untuk menjadi pribadi yang lebih baik, atau berupa kalimat yang akan saya catat karena penulisnya saya rasa cerdas dalam hal menyampaikannya kepada saya. Dalam buku cerita anak ini, saya mengalami kedekatan emosi terhadap dua kisah.

Kisah pertama berjudul “Garry si Cepat Berputus Asa dan Fanny si Pantang Menyerah”. Misi Garry adalah pergi ke pasar untuk membeli tepung agar ibu bisa membuat roti. Namun, jalanan becek berlumpur dan air sungai meluap. Batu-batu besar menumpuk di tepi sungai dan menghalanginya untuk menyebrangi sungai. Ia bertopang dagu di tepi sungai meratapi nasibnya yang tidak mungkin pulang sebelum membawa pulang tepung pesanan ibunya, sebab ibunya akan sangat marah. Garry senang mencari alasan saat menghadapi tantangan. Itu sebabnya ibunya marah jika ia pulang dengan tangan kosong. Lalu Fanny datang dan melihat Garry duduk bersedih. Garry menceritakan keadaannya dan ditanggapi positif oleh Fanny. Fanny melihat tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ia bahkan memanfaatkan batu besar yang ada di tepi sungai menjadi titian untuk menyeberang.

Ya, pesan moralnya bagi saya adalah di mana ada kemauan di situ ada jalan. Terkadang sesuatu yang bukan masalah yang berarti bisa menjadi kelihatan besar hanya karena kurang upaya untuk mencari jalan keluarnya.  
Kisah kedua berjudul “Tak Berani” yang bercerita mengenai Alec yang tidak berani mencoba hal baru hanya karena khawatir, takut kalah, takut lucu, takut gagal, ya semua karena ketakutan. Suatu saat Alec bermain sendiri saat pergi ke pantai bersama ibunya. Betapa banyak anak-anak sebayanya yang mengajaknya bermain bersama. Namun, Alec menolak. Seorang lelaki yang bertugas mengajak anak-anak melakukan aktifitas yang menyenangkan. Pria itu mengambil hati Alec dengan mengajaknya bermain pasir dan membeli es krim. Alec merasa memiliki teman. Suatu ketika Alec mendapati teman barunya, pria pantai, tersebut membutuhkan bantuannya. Topinya terbang terbawa angin ke arah laut. Semua anak-anak mencoba membantu pria tersebut. Alec berlari melesat melewati anak-anak lainnya. Ia mendapatkan topi pria pantai tersebut dan semua orang memuji Alec.

Saya menyadari bahwa zona nyaman tidak membantu saya berkembang. Ketika saya tidak terdesak saya akan merasa tidak ada yang perlu saya kembangkan dari diri saya. Belajar mengendarai motor misalnya. Akhirnya saya pernah mencoba untuk mengendarainya dengan ditemani oleh adik saya. Saya hanya perlu berulang-ulang dengan sabar terhadap diri sendiri hingga akhirnya menjadi mahir.

Sabtu, 20 Februari 2016

Daud dan Goliat::Kemenangan yang mustahil (bagian 1, semoga ada susulannya)

Kisah Daud dan Goliat dan bagaimana hal tersebut juga dapat terjadi dalam keseharian kita. Bagaimana terkadang kita memandang diri kita sebagai seorang yang kerdil dan tidak kuasa melawan “raksasa” kehidupan buatan pikiran kita.
Hampir semua dari kita telah mengetahui kisah Daud dan Goliat. Goliat adalah raksasa yang dikirim oleh bangsa Filistin untuk menguasai daerah yang sedang diperebutkan dengan bangsa Israel. Tingginya sekitar enam kaki. Ia membawa lembing, tombak dan pedang. Seorang pembantu mendahuluinya membawa perisai baginya.

Begitu sangat besarnya badan Goliat, maka dengan sombongnya ia berteriak dihadapan bangsa Israel: “pilihlah seorang dari antara kalian dan aku akan melawannya. Jika ia menang melawanku, kami akan menjadi hamba kalian. Namun, jika tidak demikian, kalian akan menjadi hamba kami dan akan melayani kami”.

Bangsa Israel yang mendengarnya dari daerah mereka berdiam, ketakutan. Tidak ada satupun yang berani menghadapi lawan yang mengerikan. Hingga akhirnya seorang gembala yang baru turun dari Betlehem karena akan mengantar makanan untuk saudara-saudaranya, maju dan menawarkan diri.

Raja Saul enggan karena melihat betapa mudanya ia. Namun, si gembala tersebut bersikukuh. Menurut pandangan si gembala tersebut, ia telah berpengalaman dalam menghadapi lawan yang lebih ganas dari yang ada saat ini, ketika ia menggembalakan dombanya. Ketika seekor singa maupun beruang datang dan menangkap dombanya dari kawanannya, maka ia akan menghajarnya dan menyelamatkan dombanya dari cengkraman singa atau pun beruang tersebut.

Saul tidak punya pilihan dan akhirnya merelakannya. Pemuda itu berlari menuruni bukit, menemui raksasa tersebut di lembah. Raksasa itu melihat lawannya datang dan berteriak: “datanglah padaku dan aku akan memberikan tubuhmu kepada burung di udara dan binatang buas di darat”

Begitulah kisah pertarungan yang amat mashyur tersebut. Pria penggembala tersebut bernama Daud. Ia bertarung melawan Goliat.

Dalam kehidupan sehari-hari kita, saya rasa kita juga berganti peran. Terkadang kita menjadi si penggembala tersebut. Mungkin juga terkadang kita menjadi si raksasa tersebut.

Menurut Malcolm, hal yang bernilai di dunia ini timbul karena konflik yang tidak berimbang yang menghasilkan kebesaran dan keindahan karena tindakan kita dalam menghadapi rintangan ataupun ‘raksasa’ yang besar tersebut. Menurut saya, cara kita menghadapi 'raksasa' tersebut, yang menurut kita tidak seimbang dengan kita yang 'kerdil' ini, akan memberikan kita suatu teknik menjalani hidup dengan lebih indah dan menjadikan kita berkembang.

Selain itu kita sering salah menanggapi masalah ataupun ‘raksasa’ yang menghampiri kita. Kita salah mengartikannya. ‘Raksasa-raksasa’ tersebut tidak seperti yang kita pikirkan. Kita selalu memberi energi kepada ‘raksasa’ tersebut yang sering kali bersumber dari ketakutan yang besar.

Lucunya, kita yang sering merasa tertindas oleh ‘raksasa-raksasa’ tersebut, sering kali salah memaknainya, bukan sebagai suatu kesempatan yang mendidik, mencerahkan dan memungkinkan apa yang orang lain pikirkan tidak mungkin.

Saya pernah mendengar kalimat ini ‘Ketakutan itu seperti bayangan. Dia lebih besar daripada objek/benda yang dikenai oleh cahaya’ Ketakutan itu hanyalah kesemuan. Maya. Dan dibuat oleh pikiran kita sendiri.

Saya sendiri juga selalu mencoba bertarung melawan ‘raksasa’ yang saya ciptakan dengan pikiran saya di dalam khayalan saya sehingga saya urung memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak saya.

Ini adalah sebagian pemaknaan saya setelah membaca bab permulaan ‘David And Goliath – Malcolm Gladwell’ yang saya coba bagikan dalam bahasa Indonesia. Belum mendalam karena saya sedang bertahap menyelesaikan bab selanjutnya. Senang jika ternyata ada yang mau bertukar pikiran akan kisah menarik ini atau kisah lainnya.

Pesan: Kehadiran raksasa di sini bukan hanya sebatas mahluk yang berwujud besar (kata benda), seperti orang yang punya kekuasaan ataupun kekayaan. mungkin bisa jadi berupa tantangan, rintangan (kata sifat), seperti keluar dari zona nyaman. Menurut saya ya :p

Salam hangat,
Ingrid Tambun

Rabu, 27 Januari 2016

Saat pembagian makanan

Hai, selamat malam.

Sudah seminggu sejak kepergian oppung (nenek dari bapak) dan hampir seminggu setelah acara adat pemakaman oppung.

Saya ingat ada hal menarik yang butuh untuk diperbaiki bersama. Salah satunya adalah mengenai kebiasaan makan dan sikap tidak peduli baik itu di pesta (nikah, ulang tahun, peresmian, dll) ataupun di acara dukacita (kemalangan).

Pernah dan bahkan selalu saya lihat, kegiatan makan di pesta ataupun kemalangan yang saya temui, sering sekali ada pribadi yang hadir tidak menghargai tuan rumah. Pada saat pembagian makanan ( baik di daerah atau di kota sekalipun) sudah ada panitia ataupun petugas yang ditunjuk bertugas membantu kelancaran pembagian makanan sehingga semua tamu/ khalayak yang hadir dapat kebagian makanan. Namun, sering tamu yang hadir bersikap seakan-akan tuan rumah tidak menyediakan cukup sajian bagi yang hadir.

Saya paham, terkadang karena keterlambatan waktu dari setiap acara yang ada, membuat waktu makan juga bergeser manjadi lebih lama. Keterlambatan jam makan, mengakibatkan para tamu gelisah sehingga saat pembagian makanan, keadaan menjadi semrawut dikarenakan para tamu takut kehabisan makanan. Namun, saya pikir itu bukan menjadi alasan pembenaran atas tindakan/sikap yang tidak terpuji.

Panitia telah mengingatkan agar bersabar karena proses pembagian makanan sedang berlangsung. Sewajarnya, jika kita ingin proses lebih cepat, kita harus mampu menjaga ketertiban. Namun, pada kenyataan di lapangan, sering para tamu justru menyerobot barisan panitia agar lebih dahulu mendapatkan makanan. Yang lebih parah adalah saat telah menerima makanan, meminta dalam jumlah lebih agar dapat disimpan menjadi bekal dibawa ke rumah.
 
Sesungguhnya, tidak ada tuan rumah yang ingin tamunya kekurangan makanan. Itu merupakan suatu aib. Namun, justru terkadang sikap khalayak yang hadir mengakibatkan tidak semua tamu yang hadir dapat menikmati makanan. Bukan tuan rumah yang salah perhitungan, namun, terkadang ketamakan (kalau boleh dikatakan demikian) dari para khalayak yang hadir membuat persediaan makanan yang ada menjadi tidak cukup.

Kita pernah berada di posisi sebagai tamu dan tuan rumah. Sudah selayaknya kita memahami perasaan dari tuan rumah acara yang kita hadiri dan perasaan para tamu yang belum dapat menikmati sajian, hanya karena sikap tidak peduli dari para hadirin acara tersebut.

Dan bagian paling menyedihkan adalah saat kita melihat makanan yang terbuang hanya karena perut yang tidak mampu menampung jumlahnya. Menyedihkan karena siapa pun yang membuang makanan tersebut sangat tidak menghargai tuan rumah, terlebih-lebih Tuhan yang menyediakan kebutuhan hidup kita.

Kalaupun kita mengetahui ada makanan yang berlebih dan layak dibawa pulang, baiklah kiranya itu karena kemurahan hati si tuan rumah untuk membekali para tamunya. Kalaupun tidak ada yang dapat dibawa pulang, toh tujuan kita menghadiri acara/undangan adalah untuk bersama-sama merasakan sukacita/kesedihan dari si pengundang.

Ya, semoga dari kejadian yang terjadi di masyarakat ini, kita menjadi tamu yang memiliki aturan dan beretika.

Salam hangat,
Ingrid Tambun

Kamis, 09 April 2015

Temu Kangen

Haiiiii,

lama tak menulis dan saya merindukan untuk menulis secara produktif dan memberi manfaat bagi yang membaca. 

Banyak hal terjadi satu tahun lebih vakum dari menulis blog. Kalau ditanya kenapa, pasti akan selalu ada alasan dan pembenaran. Akan selalu ada.

Lalu kenapa ingin aktif kembali menulis? Karena rindu secara aktif berbagi yang baik dan kalau boleh menginspirasi bagi yang mengintip sejenak tulisan saya di blog ini.

Saya akui ini akan sulit untuk saya lakukan. Namun, untuk sesuatu yang membangun dan tujuan yang baik, usaha akan selalu ada.

Ya, membaca kembali apa yang pernah saya tulis dahulu, tentunya akan berbeda dari saat ini. Mungkin dari gaya penulisan ataupun isinya. Itu yang saya yakini sebagai sebuah perbaikan. Saya memang belum memulai menghasilkan tulisan baru. Tapi, belajar dari tulisan saya terdahulu, akan ada rasa manis, asem dan asin saat membacanya.

Saya tidak malu, tapi saya akan melihatnya sebagai proses perkembangan saya. Seperti sebuah album foto. Lucunya menertawakan diri.

Salam,
Ingrid Tambun

Jumat, 28 Februari 2014

Teaching

Teaching is the profession that creates all others

Selasa, 14 Januari 2014

A Saintly Switch : to walk in other person's shoes



Karena hari ini libur, ada baiknya saya bagikan informasi mengenai film keluarga yang baru saya tonton. Film ini produksi Disney dan menceritakan kisah yang pastinya ada di kehidupan sehari-hari kita pribadi.

Kebanyakan pria (khususnya yang telah menjadi suami), tentunya akan bersikap seperti Dan Anderson (David Alan Grier) yang selalu menganggap tugas Sara Anderson (Vivica A Fox), sebagai seorang wanita/istri dan ibu yang memiliki dua orang anak, adalah pekerjaan yang gampang dan tak serumit tanggung jawabnya. Demikian pula dengan Sara yang selalu menganggap Dan tidak bertanggung jawab kepada keluarga, minim perhatian dan selalu mau menang sendiri.

Clarke dan Annette, anak mereka, benar-benar merasa tersiksa dengan keadaan yang terjadi di rumah mereka. Mereka harus selalu beradaptasi dengan lingkungan baru karena ayah mereka selalu berpindah klub. Ya, ayahnya adalah seorang gelandang di klub football yang karirnya mulai merosot dan harus selalu berpindah klub.

Untuk terakhir kalinya, Dan meminta keluarganya untuk pindah rumah, karena dia akan bergabung dengan klub Saints di New Orleans. Dengan berat hati, Sara dan anak-anaknya pindah ke lingkungan baru.

Rumah baru mereka adalah rumah lama bergaya victoria, yang telah ditinggal mati oleh pemiliknya. Tetangga baru mereka yang nyentrik, Aunt Fanny (Rue Mc Clanahan) dan burung beonya, Voltaire, menyambut mereka dengan senang hati.

Rumah baru mereka ternyata memiliki ruang rahasia, yang merupakan tempat pratik sihir pemilik terdahulu. Di buku yang ditemukan oleh Annette, mereka meka mencoba membuat racikan sihir dengan harapan akan membuat ayah dan ibu mereka akur.

Efek sihirnya bereaksi di pagi hari berikutnya. Ketika bangun, Sara terkejut mendapati dirinya berada di tubuh Dan, begitu juga sebaliknya.

Film ini mengajarkan kita untuk belajar berempati atas keadaan orang lain. Terkadang kita menganggap kehidupan orang lain lebih baik, lebih bahagia, lebih mudah, dan betapa inginnya kita menjalani kehidupan seperti itu. Kita juga terkadang sering menganggap betapa malangnya diri kita dibandingkan orang lain. Padahal, kita tidak tahu apa yang telah dilalui oleh orang tersebut.

Di film ini, Dan akhirnya tahu bagaimana repotnya menjadi seorang istri. Ia harus bangun pagi, memasak sarapan, mengantar anak sekolah, dan bahkan harus merasakan kehamilan yang sangat merepotkan di awalnya. Demikian juga dengan Sara, ia menjadi mengerti bagaimana kerasnya dunia pekerjaan suaminya, bagaimana suaminya berjuang untuk memberikan yang terbaik walaupun dalam tekanan latihan yang begitu keras dan padat.

Akhirnya mereka menyadari, jarangnya mereka berkomunikasi, membuat mereka saling curiga dengan kehidupan pasangannya. Dukungan positif dan kebutuhan untuk mengerti dan dimengerti serta komunikasi dua arah yang lancar tentunya akan membuat hubungan antar manusia, khususnya dalam pernikahan, menjadi lebih baik lagi.

Salam hangat,
Ingrid Tambun

Sabtu, 11 Januari 2014

Amin

Sesungguhnya, Allah telah mendengar, Ia telah memperhatikan doa yang kuucapkan.
Mazmur 66:19

Selasa, 24 Desember 2013

Panggilan jiwa

Heihooodowwwww,

Saya rasa pagi ini saya berjodoh dengan mendung yang akan membuat saya duduk manis menikmati semuanya dalam keheningan (kecuali fakta bahwa bapak sedang bertukang di belakang)

Saya telah membaca hingga selesai buku Berani Mengubah - Pandji Pragiwaksono. Tapi, jujur saya mengulanginya untuk alasan pemantapan. Agar pesan yang ingin disampaikan dapat saya cerna lebih lagi.

Saya sedang mencerna bagian Mencipatakan Perubahan (tiga bab dari akhir) dan mendapati bahwa:
- Apakah saya telah menemukan panggilan jiwa saya? -

Ketika usia saya dua puluhan (maksudnya sudah tidak belasan lagi) dalam doa harapan hari jadi saya, saya menyelipkan ini : - Hidup saya boleh menjadi berkat -

Saya belum tahu bagaimana mewujudkannya, tapi, pasti selalu, saya menyelipkan kalimat itu dalam doa saya. Saya menuliskannya dalam buku harian saya, dengan maksud, ketika saya lupa saya akan diingatkan kembali suatu hari ketika membaca kembali buku harian saya.

Sekarang saya telah menjadi seorang guru. Sesuatu yang sangat saya nikmati jauh melebihi pekerjaan lainnya yang telah saya lalui. Saya merasa hidup saya jauh lebih bermanfaat ketika menjadi guru. Ada sesuatu yang saya bagikan kepada orang lain. Saya juga belajar banyak hal dan dicukupkan dalam segala sesuatu yang jika dipikirkan secara rasional, kemungkinan kehidupan menjadi pengajar tidak senyaman kehidupan mbak-mbak kantoran yang dulu saya lakoni.

Saya berdoa kiranya ini adalah panggilan tersebut, jawaban atas doa saya. Menjadi guru pada tahap ini, masih belum sepenuhnya yang saya harapkan. Saya ingin melakukan lebih. Dan kiranya di tahun 2014, doa saya ini dijawab oleh DIA yang memiliki saya sepenuhnya.

Amin

Saya takut memilih

Hai Medan,

Saya merasa tidak nyaman setiap keluar dari rumah dan selalu menemui hampir di setiap sudut jalan dirusak keindahannya dengan pihak yang mempromosikan dirinya. Saya memang tidak mengenal mereka, dan wajar mereka ingin mempromosikan ke-oke-an diri mereka di selembar kain dan kertas.

Saya sedang berbicara tentang pemilu yang akan datang yang masa kampanyenya telah dimulai. Saya hanya merasa bingung karena ternyata begitu banyak orang-orang yang begitu rela menghambur-hamburkan uangnya demi sebuah popularitas (karena belum tentu sebanding dengan suara yang didapat).

Katakan saya sedang pesimis. Terserah saja. Tapi, saya menyayangkan niat mulia mereka yang (KATANYA) akan berjuang bagi rakyat, ternyata tidak diimbangi dengan aksi yang konstan. Ya, pencitraan mereka juga baik pada saat ini. Mereka memberi 'ikan' dan bukan umpan. Mau sampai berapa lama mereka dapat menyuplai 'ikan' bagi masyarakat yang sangat membutuhkan kesejahteraan.

Ketika niat baik dan mulia mereka tersebut berubah jadi pembodohan karena tidak membuat masyarakat menjadi mandiri, apakah itu calon pemimpin yang akan dipilih?

Katakan saya pesimis. Silakan. Tapi, coba bantu saya mengingat, siapa dari orang yang telah bertarung dahulu di pemilu beberapa tahun yang lalu, yang masih tetap berjuang untuk rakyat, sekalipun sudah tidak duduk di kursi legislatif atau bahkan yang kalah bertarung, namun masih tetap melaksanakan tugas mulia tersebut.

Saya tidak paham dengan hitung-hitungan biaya kampanye, tapi sekiranya dari begitu banyak para pejuang rakyat tersebut, jika sepersepuluh dari dana kampanyenya digunakan untuk membangun lapangan pekerjaan, menyuntik dana segar bagi UMKM, bukankah aksinya tersebut lebih nyata dari sekedar tulisan sampah yang menyemak di pepohonan kota Medan.

Saya sedang dilema. Saya takut memberi suara kepada orang yang tidak tepat. Namun, saya sungguh lebih takut untuk tidak memberi suara. Berarti saya telah memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk memimpin saya.

Saya berdoa kiranya saya diberi hikmat untuk memberikan suara saya kepada orang yang tepat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, meskipun perjuangannya sulit.

Salam,
Inge