Minggu, 21 April 2013

Mursala

Hai kota Medan,

Jumat lalu saya menonton film Mursala, yang mengangkat kisah budaya dan adat Batak, yang juga mengambil lokasi di Tapanuli Tengah. Saya tidak bercerita mengenai jalan cerita filmnya. Hanya saja ini merupakan tanggapan saya setelah menonton filmnya.

Film ini bagus karena telah mengangkat salah satu budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Walaupun saya orang Batak, tapi saya juga kurang mengetahui tentang PARNA. Tak lupa juga film ini menonjolkan salah satu keindahan alam Indonesia. Kisah yang diangkat juga menyisipkan pesan sosial mengenai bagaimana keadaan obejek wisata khususnya laut Indonesia yang mengalami kerusakan. Selain itu, kenyataan di lapangan mengenai perjuangan masyarakat yang mulai mengenal bagaimana merawat keindahan laut namun, masih tetap memperoleh nilai ekonomis dari laut tersebut.

Jujur, pada awalnya saya khawatir akan menonton film dokumenter, karena beberapa selentingan dari orang yang telah menontonnya saat premier, mengatakan demikian. Bahkan mereka tidak menyelesaikan menontonnya. Saya, yang memang sedang ingin menonton, mengajak adik saya yang baru saja selesai sidang, untuk bisa sedikit santai.

Untuk koreksi dari film ini, ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan. Sangat jarang orang Batak yang tinggal di daerah memanggil anaknya dengan sebutan 'sayang'. Bahasa batak yang dipakai agak nanggung. Misalnya, saat Anggiat (Rio Dewanto) sedang berbicara dengan tetua adat, dia menggunakan bahasa Indonesia sementara tetua adatnya memakai bahasa Batak dengan terjemahan. Padahal, momennya akan tepat kalau Anggiat juga berbicara bahasa Batak, jadi 'rasa' budayanya juga terasa. Adegan saat Anggiat selesai diwawancara oleh Clarisa, yang merupakan kekasihnya, terasa sangat kaku, kurang mengena. Selama film diputar, saya agak kesulitan untuk membedakan antara waktu pagi, siang, dan sore, karena pencahayaan di film tersebut cenderung membuat suasana terasa di sore hari (keadaan matahari akan tenggelam) padahal saat itu settingan waktunya sedang pagi dan juga siang hari.

Yah, lebih dan kurangnya film ini adalah pendapat saya pribadi sebagai penikmat film. Saya berharap akan selalu ada film baru yang bernafaskan budaya di Indonesia. Tidak hanya satu budaya saja, namun kiranya budaya dari Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi juga dapat difilmkan. Semoga :)

Salam hangat,
Ingrid Tambun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar