Selasa, 19 Februari 2013

Melek media

Selamat pagi Indonesia,

Pagi ini gerimis. Dan biasanya suasana mempengaruhi acara yang ditonton, Teringat akan status amangtua (panggilan untuk abang dari bapak dalam adat batak) di Facebook beberapa hari lalu, yang mengeluhkan susahnya mencari tayangan baik bagi anaknya yang masih kecil dan bertanya mengenai siapa yang paling diuntungkan dengan acara ajang pencarian bakat di televisi. Saya tertarik untuk membahasnya saat ini.

Saya jadi ingat masa saya kecil, bapak dan mama melarang kami menonton tv saat hari sekolah, Senin sampai Jumat dan baru dapat menonton pada hari Sabtu hingga Minggu pukul 9 malam. Kalaupun boleh menonton di hari sekolah, itu karena bapak mau menonton berita dan kami akhirnya, mau tidak mau, harus menonton berita. Itu terjadi hingga saya SMA. Mungkin karena sudah biasa tidak menonton tv secara rutin sejak kecil, maka saya tidak mengalami masalah serius dari ketidakgaulan saya mengenai acara tv. Efek sampingnya, saya hanya punya buku, koran, majalah dan radio yang bisa saya nikmati saat itu.

Diskusi di TVRI tadi (ya, saya menonton stasiun tv milik negara kesatuan Republik Indonesia karena muak dengan acara musik yang mengundang putri-putrian dengan judul yang sangat tidak Indonesia dan memamerkan kemampuan yang juga tidak membawa budaya Indonesia. Kontras dengan misi yang dibawa) mengenai media literacy atau melek media. Saya menontonnya sudah hampir penghujung acara. Poin yang saya dapatkan dari acara tersebut adalah pentingnya membagikan informasi atau menggerakkan masyarakat Indonesia untuk tetap 'berjuang' memilih tayangan yang baik untuk dikonsumsi bagi siapapun. Sangat mungkin banyak masyarakat yang belum mengetahui gerakan melek media. Banyak yang membenarkan diri bahwa siaran televisi hanya untuk hiburan semata. Tapi, siapa yang menyadari bahwa siaran-siaran yang tidak bermutu tersebut justru membentuk karakter penontonnya.

Contohnya saja, acara dengan judul baik pencarian bakat terpendam. Judulnya baik sekali, seakan malaikat penolong yang membantu memperbaiki masa depan orang lain. Namun, nyatanya para kontestannya, yang setelah program berakhir, tidak mendapatkan perbaikan masa depan sama sekali. Istilahnya habis pakai ya dibuang, ibarat teh seduh. Kalau sudah begitu, masyarakat akan mengatakan bahwa si A, B, C yang tidak terkenal setelah keluar dari ajang pencarian bakat, kurang memiliki koneksi, kualitasnya tidak bagus, dll. Padahal, sudah seharusnya penyelenggara acara itu yang membantu mewujudkan misi itu, misi membantu. Itupun jika benar misinya membantu. Faktanya, ya seperti teh seduh.

Pada akhirnya, karena tergiur dengan iming-iming menjadi terkenal dan cepat kaya itulah, maka banyak masyarakat Indonesia baik tua dan muda yang berjuang mati-matian agar dapat mencicipi kemudahan itu. Parahnya, tayangan itu mendapat perhatian yang luar biasa bagi orang muda yang nantinya akan meneruskan cita-cita membangun bangsa Indonesia.

Kisah lain adalah saat tayangan sinetron tv semakin mempopulerkan hubungan serius (berpacaran) bahkan dimulai dari tingkat sekolah dasar. MIRIS. Anak - anak yang seharusnya mulai mengenal persahabatan, malah dibiasakan untuk mengucapkan kata PUTUS, JADIAN dan CERAI. Itu normal, begitu yang diucapkan anak-anak ketika ditanya mengenai berpacaran. Seharusnya semakin baik gizi anak-anak saat ini, juga diimbangi dengan informasi baik untuk mereka ketahui.

Melek media dapat dimulai dari diri sendiri. Mulailah menyeleksi apa yang sebaiknya dikonsumsi oleh diri kita. Tidak hanya mengenai makanan yang tersaji meja makan, namun juga apa yang menjadi makanan bagi pikiran kita.

Karena selain tubuh yang sehat, kita juga perlu menutrisi pikiran kita agar tetap sehat dan dapat berproduksi secara maksimal.




Selamat menutrisi pikiran,
Ingrid Tambun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar